Penelitian Pentingnya Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, menentukan proses
pelaksanaan dan hasil daripada pendidikan. Mengingat begitu pentingnya
peranan kurikulum dalam pendidikan dan di perkembangan kehidupan
manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat dirancang sembarangan.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) membutuhkan
landasan yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam. Salah satu landasan yang berkaitan dengan peranan anak dalam
pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis. Implikasi psikologis
merupakan salah satu landasan pengembangan kurikulum, secara khusus
implikasi psikologis bagi guru membantu guru sebagai desainer, developer
dan sekaligus sebagai barisan paling depan yakni sebagai implementor
kurikulum.
A. Pendahuluan
Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 (Mulyasa, 2007 : 151);
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah yang berpedoman
pada standar isi dan standar kompetensi lulusan, serta panduan
penyusunan kurikulum yang dibuat oleh Badan Nasional Standar Pendidikan
(BNSP). Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah ”berpusat pada
potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya”,
kurikulum mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan
proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas
pendidikan pada tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Mauritz Johnson
(1977 : 130) mengemukakan bahwa kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”.
Kurikulum merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan
petunjuk tentang jenis, lingkup dan hierarki urutan isi serta proses
pendidikan. Pendidikan berisi suatu interaksi antara pendidik dengan
terdidik (anak didik) dalam upaya membantu anak didik menguasai
tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi antara pendidik dengan anak didik
ini merupakan interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan tersebut dapat
berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah ataupun
lingkungan masyarakat. Interaksi pendidikan dalam lingkungan keluarga
dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, bekerjasama
atau bergaul dengan anak-anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan
perlakuan yang tanpa direncanakan dan tanpa disadari diperlihatkan
orang tua. Orang tua menjadi pendidik tanpa dipersiapkan secara formal,
tetapi lebih karena statusnya sebagai ayah dan ibu. Dengan demikian,
mungkin saja sebagian besar dari mereka belum siap untuk melaksanakan
tugas sebagai pendidik. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum
yang formal, dan tidak memiliki kurikulum tertulis.
Interaksi pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal.
Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam
lembaga pendidikan guru. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
dengan rencana dan rancangan yang matang, yakni mengajar dengan tujuan
yang jelas, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang
secara cermat. Guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan
sadar. Dalam lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, dan telah
ada kurikulum tertulis. Guru melaksanakan tugas mendidik secara formal.
Interaksi pendidikan dalam lingkungan masyarakat terjadi dengan
berbagai bentuk interaksi pendidikan. Bentuk interaksi pendidikan yang
terjadi mulai dari yang sangat formal mirip dengan pendidikan di
sekolah, dalam bentuk kursus-kursus sampai dengan yang sangat kurang
formal seperti ceramah dan saresehan. Gurunya bervariasi, dari yang
memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai yang
melaksanakan tugas guru karena pengalaman. Kurikulumnya juga bervariasi,
dari yang memiliki kurikulum secara formal dan tertulis sampai dengan
yang hanya ada pada pikiran penceramah atau pendorong saresehan.
Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, menentukan proses
pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan
kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan
manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat sembarangan.
Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Salah satu landasan yang berkaitan dengan peranan anak dalam
pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis.
B. Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sudah pasti
berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Adanya
kurikulum diharapkan dapat membentuk tingkah laku baru berupa kemampuan
atau kompetensi aktual dan potensial dari setiap peserta didik, serta
kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Psikologi merupakan salah satu landasan dalam pengembangan kurikulum
yang harus dipertimbangkan oleh para pengembang. Hal ini dikarenakan
posisi kurikulum dalam proses pendidikan memegang peranan yang sentral.
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar manusia, yaitu antara
anak didik dengan pendidik, dan juga antara anak didik dengan
manusia-manusia lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena
kondisi psikologisnya. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2006 :
50) ”kondisi psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik manusia
sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam
interaksinya dengan lingkungan”. Perilaku-perilaku tersebut merupakan
manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang nampak maupun yang
tidak nampak; baik perilaku kognitif, afektif maupun psikomotor.
Interaksi yang tercipta didalam situasi pendidikan harus sesuai dengan
kondisi psikologis dari anak didik dan pendidik. Interaksi pendidikan di
rumah berbeda dengan di sekolah. Interaksi antara anak dengan guru pada
tingkat sekolah dasar berbeda dengan pada tingkat sekolah menengah
pertama dan atas.
Anak didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama guru adalah membantu mengoptimalkan
perkembangan peserta didik tersebut. Oleh karena itu, melalui penerapan
landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya
pendidikan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan hakikat peserta
didik. Penyesuaian yang dimaksud berkaitan dengan segi materi atau bahan
yang harus disampaikan, penyesuaian dari segi proses penyampaian atau
pembelajarannya, dan penyesuaian dari unsur-unsur upaya pendidikan
lainnya.
Apa yang dididikan dan bagaimana cara mendidiknya perlu disesuaikan
dengan tingkat dan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku
pada berbagai tingkat serta pola-pola perkembangan anak menjadi bagian
dari psikologi perkembangan. Sementara itu, model-model atau pendekatan
pembelajaran mana yang dapat memberikan yang optimal, dan bagaimana
proses pelaksanaannya memerlukan studi yang sistematik dan mendalam.
Studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dari psikologi belajar.
Dengan demikian, paling tidak ada dua bidang psikologi yang harus
mendapat perhatian para pengembang kurikulum, yakni psikologi
perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan terutama
di dalam proses pemilihan dan penyusunan isi pendidikan serta proses
mendidik atau mengajar. Hal ini dimaksudkan agar anak didik dapat
dilayani secara proporsional.
C. Psikologi Perkembangan dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa
konsepsi, yaitu masa pertemuan sel telur dengan spermatosoid sampai
dengan masa dewasa. Informasi tentang perkembangan individu diperoleh
melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional,
psikoanalitik, sosiologik dan studi kasus. Individu apakah itu seorang
anak ataupun orang dewasa, merupakan kesatuan jasmani-rohani yang tidak
dapat dipisah-pisahkan, dan menunjukkan karakteristik-karakteristik
tertentu yang khas. Individu manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks
tetapi unik, yakni memiliki banyak aspek seperti aspek jasmani,
intelektual, sosial, emosional, moral dan sebagainya, tetapi
keseluruhannya membentuk satu kesatuan. Pandangan tentang anak sebagai
makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan
di samping persamaannya. Implikasi terhadap pengembangan kurikulum
menurut Rudi Susilana dkk. (2006 : 22) yaitu:
a. Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya.
b. Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (Program
inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula
pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
c. Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat
kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak
yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan selanjutnya.
d. Kurikulum memuat tujuan–tujuan yang mengandung pengetahuan,
nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan
pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak terhadap pelaksanaan pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku peserta didik.
b. Bahan atau materi yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh
anak.
c. Strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh
dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap yang lainnya dan
dijalankan secara terus menerus.
D. Psikologi Belajar dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar.
Secara sederhana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku
yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku, baik
yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor yang terjadi karena
proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Gagne
(1965 :5) merumuskan “Learning is a change in human disposition or
capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to
the process of growth”. Menurut Gagne, perubahan tersebut
berkenaan dengan disposisi atau kapabilitas individu. Sementara itu,
menurut Hilgard dan Bower (1966) dinyatakan bahwa perubahan itu terjadi
karena individu berinteraksi dengan lingkungan, sebagai reaksi terhadap
situasi yang dihadapinya.
Mengetahui tentang psikologi belajar merupakan bekal bagi para guru
dalam menjalankan tugas pokoknya, yaitu membelajarkan anak. Menurut
Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt (1980), psikologi atau teori
belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga
rumpun, yaitu: teori Disiplin Mental atau teori Daya (Faculty theory),
Behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field atau organismik.
Menurut teori Daya (Disiplin Mental), sejak kelahirannya
(heredities)anak telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu
(Faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti
potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan pendapat daya
mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Karena itu
pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik dalam
daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hafalan dan
latihan.
Rumpun teori Behavorisme mencakup tiga teori, yaitu teori
Koneksionisme atau teori Asosiasi, teori Kondisioning, dan teori
Reinforcement (Operent Conditioning), Rumpun teori Behaviorisme
berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir.
Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah,
masyarakat). Teori Koneksionisme atau teori Asosiasi adalah teori
tentang kehidupan yang tunduk kepada hukum stimulus-respon atau
aksi-reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara
stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
Teori Cognitive Gestalt Field atau organismik mengacu kepada
pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian,
keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai
mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan
secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Teori
ini banyak mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah karena memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Belajar berdasarkan keseluruhan
Dalam belajar siswa mempelajari bahan pelajaran secara keseluruhan,
bahan-bahan dirinci ke dalam bagian-bagian itu kemudian dipelajari
secara keseluruhan, dihubungkan satu dengan yang lain secara terpadu.
2. Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak dibimbing untuk
memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara berimbang. Ia
dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang memiliki
keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya dan
antara sikap dengan keterampilannya.
3. Belajar berkat pemahaman. Menurut aliran Gestalt bahwa belajar itu
adalah proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan
pengetahuan.
4. Belajar berdasarkan pengalaman
Belajar itu adalah pengalaman.Proses belajar itu adalah bekerja,
mereaksi, memahami dan mengalami.Dalam belajar itu siswa aktif. Siswa
mengolah bahan pelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok,
demonstrasi, survey lapangan, karyawisata atau belajar membaca di
perpustakaan.
5. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Ada tiga teori yang perlu diketahui guru, yaitu: perkembangan anak
merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan anak merupakan hasil
lingkungan, dan perkembangan anak merupakan hasil keduannya.
6. Belajar adalah proses berkelanjutan. Belajar itu adalah proses
kegiatan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya yang dilakukan
dari sejak lahir sampai menginggal, karena itu belajar merupakan proses
berkesinambungan.
Analisis dan Kesimpulan
Implikasi dari psikologis merupakan salah satu landasan pengembangan
kurikulum yakni kepada para guru sebagai desainer, developer dan
sekaligus sebagai barisan paling depan yakni sebagai implementor
kurikulum. Secara teoritis, seorang guru harus/berkewajiban mengenal
siswanya, seperti diungkapkan oleh Lan Reece dan Stephen Walker (1997),
bahwa semua siswa adalah individu-individu. Tidak ada dua siswa yang
belajar dengan cara yang sama. Jadi, meskipun guru memiliki sejumlah
siswa dalam kelas, mereka semua merupakan individu sendiri-sendiri.
Mereka memiliki harapan masing-masing, dan penting bagi guru untuk
memenuhi harapan mereka. Siswa memiliki harapan berdasarkan pada
pengalaman belajar sebelumnya. Tugas guru adalah mengetahui cara belajar
mengajar pilihan siswa, untuk mengkonsentrasikan cara belajar mengajar
yang terbukti sukses dan memperbaiki yang belum berhasil. Menurut
Herbert Khol (1986), guru yang baik memiliki ciri, 1) rasa ingin tahu
yang kuat mengenai kehidupan dan kebudayaan siswanya dan berkeinginan
untuk mengeksplorasi dunia mereka (para siswa); 2) memilliki rasa cinta
yang mendalam terhadap semua siswanya dan senang menghabiskan waktu
bersama siswanya. Pendapat lainnya dari Nana Syaodih (2003) bahwa siswa
yang melakukan kegiatan belajar adalah individu, baik didalam kegiatan
klasikal, kelompok maupun individual. Proses dan kegiatan belajarnya
tidak dapat dilepaskan dari karakteristik, kemampuan dan perilaku
individualnya. Dengan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang
kondisi para siswanya, seorang guru diharapkan mampu menciptakan
interaksi pendidikan, perlakuan mendidik yang lebih efektif dan efisien.
Sebagaimana diungkapkan Herbert Khol yang harus diperhatikan oleh
seorang guru ketika ia merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
pengajaran, di antaranya: Berorientasi pada siswa (student oriented);
Mencintai siswanya dan mencintai pekerjaannya. Kemudian, Lan Reece
& Stephen Walker mengungkapkan bahwa pemilihan strategi mengajar
sangat ditentukan oleh gaya belajar siswa. Pada akhirnya, gaya belajar
siswa tersebut menjadi kebutuhan dan karakteristik saat belajar. Oleh
karena itu, dalam pemilihan strategi mengajar, seorang guru harus
menghubungkan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Selanjutnya
diungkapkan, bahwa kemampuan siswa sangat berhubungan dengan temperamen
dan sikap-sikap khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, guru perlu untuk
mempertimbangkan jangka waktu perhatian siswa dan kemampuan mereka
untuk menguasai tujuan yang telah ditetapkan. Senada dengan apa yang
diungkapkan di atas, Mohamad Surya (2003) mengemukakan bahwa guru
memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran.
Guru dituntut harus mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar
menjadi perilaku belajar yang efektif dalam diri siswa. Di samping itu,
guru dituntut pula untuk mampu menciptakan situasi belajar-mengajar
yang kondusif.
Berdasarkan uraian di atas, baik secara teoritis maupun secara
empiris atau pelaksanaan dalam praktek, tidak ada alasan bagi seorang
guru dalam menjalankan tugasnya untuk tidak mengenal siswanya. Artinya,
bagi seorang guru, mengenali siswa itu harus menjadi prioritas utama.
Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi dalam menyusun strategi
pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa secara
individu. Dengan mengenali siswa secara baik, bagi seorang guru,
merupakan modal dasar guna mencapai kelancaran dan sekaligus kesuksesan
guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, yakni melayani para
siswanya agar terjadi proses belajar secara optimal.